IDENTITAS
CERPEN
·
Judul Cerpen :
Simpang Ajal
·
Karya :
Satmoko Budi Santoso
·
Diterbitkan : Friday, December 23, 2005
·
Diambil Tanggal : 13 Desember 2012
Sinopsis
Selesai
sudah tugas Montenero, betapa tidak ia telah membunuh tiga orang. Kini ia
tinggal bunuh diri saja untuk menyelesaikan masalahnya. Montenero telah mebunuh
santa, denta dan martineau. Santa telah memenggal kepalah ayahnya, denta adalah
orang yang menutupi mulut ayahnya agar tak bersuara ketika dibunuh dan
Martineau yang mengikat tubuh ayahnya agar tidak bergerak sedikitpun ketika menjelang kematian.
Kini dendam
montenero sudah terbalaskan, apa lagi yang ia pikirkan sehingga membuat ia
menjadi bingung. Dia melihat ketiga mayat itu terdiam kaku ditanah tapi didalam
batinnya begejolak untuk mengubur mayat-mayat itu. Semetinya ia tak musti ada
pikiran begitu, toh tugasnya sudah selesai dan pembantaianpun sudah
dilakukannya serta dendam yang selama ini bersembayam didalam jiwanya sudah
lunas terbalaskan, mengapa sekarang ia masih bingung. Tetapi di sisi lain ia
masih memikirkan untuk tetap menguburnya sebagai penghormatan terakhir sesama
manusia.
Montenero pun bertambah bingung apa
yang musti ia lakukan sekarang, ia harus mempunyai keberanian untuk tidak
bersikap kaku lagi. Sebenarnya untuk keberanian ia telah memilikinya karna
sudah membunuh ketiga orang tersebut. Terus apa yang ia harus perbuat,
meninggalkan mayat itu atau bergegas pergi sebelum ayam berkokok dan para warga
terbangun serta mengetahui perbuatan yang ia lakukan.
Montenero diam. Terpaku. Ia
sebenarnya memang tidak perlu mempertimbangkan apa-apa lagi kecuali segera
mengubur ketiga mayat itu serapi mungkin, agar paginya tidak sia-sia karena dikorek-korek
anjing. Lantas, selesai! Sejarah baru tergores. Bapaknya yang mati sangat
mengenaskan dengan kepala terpenggal dari tubuhnya, terbalas sudah. Meskipun
kematian Santa, Denta, dan Martineau tidak sempurna seperti kematian bapaknya,
tetapi setidaknya mati. Itu saja. Karena hanya sisa keberanian itulah yang
dimilikinya. Kebetulan memang juga mati, bukan? Tuntaslah cerita ibunya yang
selalu membekas dalam ingatan dan membuatnya selalu berpikir dan bersikap
semirip orang sableng.
Karena kelamaan berpikir, ayam pun
akhirnya berkokok bersahutan. Meskipun ayam baru berkokok, keadaan di sekitar
tempat pembantaian itu sudah cerah. Udara meruapkan kesegaran. Montenero
terlambat. Ia belumlah membuat perhitungan-perhitungan untuk bergegas menyuruh
Belati agar mau menikamkan diri ke dada Montenero yang kini telah disesaki
gebalau bingung, ketololan, amarah, dan entah apa lagi, juga entah ditujukan
buat siapa lagi. Montenero betul-betul lunglai, lenyap keberanian, tercipta
goresan sejarah yang entah baru entah tidak bagi dirinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar